Rabu, 28 November 2012

Mengambil Pelajaran Studi Banding PKL Kabupaten Tulungagung Ke Gunung Kidul


         Rabu, tanggal 7 November 2012 rombongan Penyuluh Kehutanan Lapangan BKPP Kabupaten Tulungagung bersama para koordinator BPP sekabupaten Tulungagung serta para pejabat BKPP Kabupaten Tulungagung melakukan kegiatan Studi Banding  ke Kelompok PPHR (Paguyuban Pengelolaan Hutan Rakyat) Ngudi Lestari dan KSU Wana Manunggal Lestari di Desa Dengok, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul, salah satu koperasi yang telah mendapatkan sertifikat Ecolabelling dari LEI maupun sertitifikat VLK.
Tulisan ini berusaha mengupas sedikit tentang catatan perjalanan studi banding beserta seluk beluk SVLK dan kondisi yang dihadapi KSU Wana Manunggal Lestari setelah mendapatkan sertifikat VLK.
Berangkat dari BKPP kabupaten Tulungagung pukul 23.00 WIB rombongan tiba di Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Kabupaten Gunung Kidul sekitar pukul 07.00 WIB keesokan harinya.  Setelah mandi dan sarapan serta beramah tamah dengan para pejabat dan staf BPPKP Kabupaten Gunung Kidul, rombongan langsung meluncur ke Desa Dengok, dan diterima dengan sangat baik setibanya di lokasi. 


Sambutan Dilanjutkan Pemaparan Tentang SVLK 

Acara dilanjutkan dengan perkenalan, sambutan-sambutan dan paparan tentang ke Kelompok PPHR (Paguyuban Pengelolaan Hutan Rakyat) Ngudi Lestari dan KSU Wana Manunggal Lestari oleh Sugeng Suyono, Ketua KSU Wana Manunggal Lestari diteruskan dengan tanya jawab dan diskusi. Dari paparan Ketua KSU Wana Manunggal Lestari itulah diperoleh gambaran perjalanan KSU Wana Manunggal Lestari sejak berdiri hingga kondisi terkini.


Para PKL Kabupaten Tulungagung Sedang Menyimak Pemaparan 

Koperasi Serba Usaha Wana Manunggal Lestari (KSU-KWML) Gunung Kidul berdiri tahun 2006 sebagai unit manajemen hutan rakyat di Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta sesuai dengan surat dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah No. 518.026/BH/IX/2006.
Dengan jumlah anggota terdiri dari 686 anggota aktif dan 972 anggota yang berasal dari Desa Dengok, Desa Kedungkeris, dan Desa Girisekar, KWML Gunung Kidul telah mendapatkan sertifikat Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) Standar LEI 5000–3 No.Reg 82411106003 berlaku selama periode tahun 2006 – 2021 untuk cakupan wilayah dengan luas area 815,18 Ha yang berlokasi di Desa Dengok, Desa Girisekar, dan Desa Kedungkeris.
Selanjutnya berdasarkan hasil penilaian PT. Sucofindo, KSU KWML Gunung Kidul lulus dan berhak mendapatkan Sertifikat Legalitas Kayu No.VLK  00043 tahun 2011. Sertifikat itu berlaku untuk hutan rakyat dengan luas areal 594,15 Ha yang berlokasi di Desa Kedungkeris, Desa Girisekar, dan Desa Dengok.
Namun kondisi terkini yang dialami KSU KWML meskipun sudah memiliki sertifikat legalitas kayu, KSU KWML masih mengalami kesulitan untuk memasarkan kayu produksi anggotanya yang telah bersertifikat dengan harga yang lebih baik.  Bahkan untuk menjual dengan harga Rp 50.000,-/m3 lebih tinggi dari harga pasaran kayu tidak bersertifikat pun, KSU KWML masih mengalami kesulitan.  Hal tersebut membuat Sugeng Suyono bertanya-tanya mengapa sertifikasi dengan biaya mahal (sekitar Rp 80.000.000,- untuk 594,15 Ha dengan masa berlaku sertifikat VLK hanya 3 tahun) tidak mampu mendongkrak harga kayu bersertifikat milik anggota KSU KWML, dan mengapa tidak ada dukungan kebijakan untuk pemasaran kayu bersertifikat dari pemerintah khususnya Kementerian Kehutanan sebagai tindak lanjut sertikasi yang telah dilakukan.

Apa itu SVLK ?
SVLK atau Sistem Verifikasi Legalitas Kayu merupakan upaya  Pemerintah RI untuk  memberantas praktek illegal logging dan mempromosikan kayu legal Indonesia kepada dunia.
Singkatnya melalui proses pembahasan multi-pihak sejak tahun 2003, pada bulan Juni 2009 Pemerintah Indonesia menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 38/Menhut-II/2009 tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak. Peraturan yang kemudian lebih dikenal sebagai Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) tersebut kemudian mulai berlaku sejak September 2009. Pada akhir 2011, peraturan dimaksud disempurnakan kembali dengan terbitnya Peraturan Menteri Kehutanan P.68/Menhut-II/2011.






































Mengapa Perlu SVLK ?
Indonesia berusaha memberikan jaminan legalitas produk perkayuannya sejalan dengan kecenderungan pasar perkayuan utama dunia yang sudah mulai menuntut pemenuhan aspek legalitasnya.
Pemerintah Jepang telah menerapkan Goho-wood atau Green Konjuho yang mewajibkan kayu yang diimpor berasal dari sumber-sumber yang legal. Pemerintah Amerika Serikat melakukan amandemen terhadap Lacey Act yang dimaksudkan untuk menghindarkan importasi kayu-kayu ilegal ke negeri tersebut. Uni Eropa dengan regulasi no 995/2010 (Timber Regulation) mewajibkan agar operator memiliki bukti yang meyakinkan bahwa produk perkayuan yang mereka perdagangkan cukup bukan berasal dari sumber yang ilegal.
Timber Regulation akan mulai efektif berlaku sejak Maret 2013. Mulai saat itu impor kayu ke negara-negara anggota Uni Eropa yang berasal dari negara-negara yang ditengarai terjadi illegal logging akan dilakukan due diligence (proses kepatuhan) untuk menghindari masuknya kayu-kayu illegal ke pasar Uni Eropa. Due diligence dan Timber Regulation tidak berlaku manakala suatu negara eksportir kayu seperti Indonesia menandatangani Voluntary Partnership Agreement (VPA) dengan Uni Eropa.
Voluntary Partnership Agreements (VPA) atau  Kesepakatan Kemitraan Sukarela adalah perjanjian bilateral antara Uni Eropa (UE) dan negara-negara pengekspor kayu, dengan tujuan untuk meningkatkan tata kelola sektor kehutanan serta memastikan bahwa kayu dan produk kayu yang diimpor ke Uni Eropa diproduksi sesuai dengan peraturan perundangan negara mitra.
Berdasarkan VPA, negara-negara mitra Uni Eropa harus mengembangkan sistem-sistem pengendalian untuk memverifikasi legalitas kayu yang diekspor ke Uni Eropa.  Uni Eropa menyediakan dukungan untuk membangun atau menyempurnakan sistem-sistem pengendalian ini. Apabila telah disepakati dan diimplementasikan, maka VPA mengikat kedua belah pihak untuk memperdagangkan hanya produk kayu legal yang telah diverifikasi.
Tanggapan Uni Eropa untuk menangani pembalakan liar dinyatakan dalam Rencana Tindak Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Sektor Kehutanan (FLEGT) pada tahun 2003. Rencana Tindak tersebut bukan saja terdiri atas VPA dengan negara mitra, tetapi juga mencakup Peraturan.
Sejak empat tahun, Indonesia dan Uni Eropa telah melakukan perundingan mengenai VPA. Tiga kali pertemuan tingkat Pejabat Tinggi (SOM), tujuh kali pertemuan teknis (Technical Working Group) dan tujuh kali pembahasan pada tingkat ahli telah dilaksanakan. Melalui pertemuan Senior Official Meeting ke tiga (terakhir) di Brusel pada  15 April 2011 di Kantor Komisi Eropa di Brussels dicapai kesepakatan atas dokumen-dokumen VPA beserta ke 9 annexnya dengan SVLK sebagai sistem yang akan diterapkan untuk membuktikan legalitas kayu-kayu Indonesia.
Pada 4 Mei 2011 dilakukan pemarafan (initialing) Perjanjian FLEGT-VPA oleh Menteri Kehutanan RI, Zulkifli Hasan dan Karel De Gutch, EU Trade Commisioner di Jakarta. Dengan demikian Indonesia menyusul negara-negara Afrika (Ghana, Kamerun, Kongo) yang telah terlebih dahulu menandatangani VPA dengan Uni Eropa. Indonesia merupakan negara Asia pertama yang mempunyai VPA, karena perundingan Malaysia dan Vietnam dengan Uni Eropa belum memperlihatkan kemajuan yang berarti.

Apa Keuntungan Menggunakan SVLK ?
1.   Bisnis hutan berbasis masyarakat dapat memperoleh pengakuan pasar internasional terhadap pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat. Bagi petani keuntungan langsung yang diharapkan adala meningkatnya harga jual kayu yang telah bersertifikat VLK
2.    Pembeli dapat melacak kayu mereka beli hingga ke hutan yang dipanen secara legal dengan membeli produk hutan SVLK, dapat berkontribusi untuk menjaga dan melestarikan hutan
3.    Industri dan pedagang dapat meningkatkan penetrasi pasar internasional ke pasar sensitif seperti Eropa dan Amerika Serikat.  Apalagi dengan telah ditandatanganinya VPA, kayu dari Indonesia tidak harus melalui proses kepatuhan (due dilligent assesment) yang memakan waktu dan biaya.

               Pelaksanaan SVLK
Peraturan Menteri Kehutanan No. P.38/Menhut-II/2009 jo. P.68/Menhut-II/2011 mengharuskan unit usaha kehutanan memegang sertifikat pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL), atau setidak-tidaknya sertifikat legalitas.
Sedangkan unit industri yang berbahan baku kayu, baik indutri kayu primer maupun industri lanjutan, harus mendapatkan sertifikat legalitas.
Penilaian PHPL/legalitas dilaksanakan secara independen oleh lembaga penilai/verifikator yang telah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN), dan diawasi pelaksanaannya oleh pengawas independen yang berasal dari LSM / masyarakat madani.
Sampai akhir 2011 telah dilakukan penilaian kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) pada unit kelola/ pemegang ijin pada berbagai tipe pengelolaan hutan dengan total areal seluas kurang lebih 5,5 juta ha. 
Verifikasi legalitas unit kelola hutan rakyat  telah diberikan kepada 5 (lima) unit pengelolaan hutan rakyat dengan luas kurang lebih 2000 Ha tersebar di  Lampung Tengah (Koperasi Comlog Giri Mukti Wana Tirta), Gunungkidul, DIY (Koperasi Wana Manunggal Lestari ), Wonosobo, Jawa Tengah (Asosiasi Pemilik Hutan Rakyat), Blora, Jawa Tengah (Gapoktanhut Jati Mustika) dan Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara (Koperasi Hutan Jaya Lestari).
Diah Raharjo, Direktur Multistakeholder Forestry Programme (MFP-Kehati) menjelaskan “Untuk tujuan ekspor, industri yang telah mengantongi sertifikat SVLK akan melampirkan Dokumen V-Legal yang menyatakan bahwa produk kayu tersebut telah memenuhi standar verifikasi legalitas kayu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menjamin bahwa kayu dan produk kayu tersebut berasal dari sumber bahan baku yang legal”.
, Dokumen V-Legal juga diterbitkan oleh Lembaga Verifikasi yang telah terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN).  Eksportir produk industri kehutanan mengajukan permohonan penerbitan Dokumen V-Legal kepada Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK) yang setelah melalui proses verifikasi atau inspeksi akan menerbitkan dokumen V-Legal bagi eksportir tersebut.  Dokumen V-Legal berisi informasi mengenai jenis dan volume produk kayu yang akan diekspor, negara tujuan serta informasi lainnya.
Dengan fasilitasi MFP-KEHATI, Kementerian Kehutanan sudah mengembangkan sistem online pengelolaan informasi terkait penerbitan Dokumen V-Legal.  Sistem online ini    merupakan kerja para pihak yang melibatkan enam kementerian (Kementerian Kehutanan, Kementrian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementrian Keuangan, Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian) dan  dijalankan oleh Unit Pengelolaan Informasi Verifikasi Legalitas Kayu atau Lincense Information Unit (LIU) yang berpusat di Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan Kementerian Kehutanan. Sistem  ini menggantikan mekanisme endorsement ekspor kayu dan produk kayu oleh Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (BRIK).
Sistem Informasi Verifikasi Legalitas Kayu ini juga langsung terhubung dengan sistem INATRADE di Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kemendag dan akan bermuara pada portal Indonesian National Single Window (INSW) di Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan untuk pendaftaran ekspor. Sistem ini juga memungkinkan pihak kepabeanan negara tujuan ekspor untuk memperoleh kepastian atau klarifikasi atas legalitas kayu dari Indonesia.
Data dari Kementerian Kehutanan RI per Agustus 2012 dari sekitar 4.000 industri kayu primer dan puluhan ribu industri kerajinan kayu baru 202 unit manajemen industri pengolahan kayu primer yang sudah memperoleh Sertifikat VLK dan 89 unit lainnya masih dalam proses, meski Kementerian Kehutanan sudah menganggarkan bantuan sebesar Rp 3 miliar dan tenaga pendamping untuk membiayai proses verifikasi bagi usaha kehutanan skala rakyat.  Meski demikian pemberlakuan SVLK bagi semua produk  industri  kehutanan akan diberlakukan mulai Januari 2013.

Kritik Terhadap Pelaksanaan SVLK
Kritik utama yang muncul terhadap pelaksanaan SVLK adalah tingginya biaya assesment , prosedur assesment yang panjang, tiadanya jaminan harga premium untuk kayu bersertifikat VLK dan masa berlaku sertifikat VLK yang singkat hanya 3 tahun, sementara di dalam negeri segmen pasar yang tidak hirau akan sertifikasi masih cukup dominan. (Silakan buka http://groups.yahoo.com/group/rimbawan-interaktif/).

Pelajaran yang Dapat Diambil dari Studi Banding ke Gunung Kidul
Dari studi banding yang telah dilakukan ke KSU KWML Gunung Kidul ada beberapa hal yang dapat diambil sebagai pelajaran yaitu :
1.    Adanya Kelompok PPHR sebagai gabungan dari Kelompok Tani Penghijauan - Kelompok Tani Penghijauan yang ada untuk mempermudah pengelolaan hutan rakyat dengan dasar sukarela dan tanggungjawab untuk kepentingan bersama dimana dalam proses pendataan kayu yang ada di lahan milik anggota KSU KWML sangat mempermudah
2.    Proses pendataan kayu yang ada di lahan milik dilakukan sendiri oleh pemilik lahan berdasarkan kesadaran akan pentingnya SVLK dan harapan akan naiknya harga kayu bersertifikat VLK, sedangkan KSU KWML menyediakan blangko untuk pendataan
3.    Masa berlaku sertifikat VLK yang hanya 3 tahun memang sebaiknya dirubah untuk minimal 15 tahun mengingat  biaya assesment yang tinggi dan secara teknis tanaman kayu-kayuan membutuhkan waktu setidaknya 6 tahun untuk mencapai ukuran siap tebang (bervariasi menurut jenis dan kesuburan tanah) bahkan untuk tanaman jati unggul memerlukan waktu setidaknya 15 tahun untuk mencapai ukuran layak tebang
4.    Perlunya penetapan standar harga kayu bersertifikat untuk pasar dalam negeri oleh pemerintah dan dukungan kebijakan untuk pemasaran kayu bersertifikat VLK, misalnya kewajiban gedung instansi pemerintah maupun perusahaan BUMN dan swasta skala besar wajib menggunakan kayu bersertifikat VLK.
5.     Diperlukan penegakan hukum yang tegas terhadap para pelaku ilegal loging untuk menjaga kredibilitas pemerintahan RI di mata dunia internasional terutama dalam kaitan dengan telah diparafnya FLEGT-VPA
6.   SVLK sebuah keharusan, semakin cepat kayu hutan rakyat memiliki sertifikat VLK semakin baik untuk mendukung ekspor produk perkayuan tetapi perlu dukungan kebijakan pemerintah agar perusahaan eksportir mau membeli kayu rakyat bersertifikat VLK

*****

Penyusun          : Wido Nugroho, SP
                            PKL Kecamatan Pagerwojo, Kabupaten Tulungagung
Editor               : Rasidi, SP

Sumber data   : -Sugeng Suyono Ketua KSU KWML Gunung Kidul 
                           -www.mfp.or.id
                           -www.greenradio.fm
                           -nationalgeographic.co.id
                           -www.antaranews.com
                           -http://groups.yahoo.com/group/rimbawan-interaktif/


Tidak ada komentar: