Rabu, tanggal 7 November 2012 rombongan
Penyuluh Kehutanan Lapangan BKPP Kabupaten Tulungagung bersama para koordinator
BPP sekabupaten Tulungagung serta para pejabat BKPP Kabupaten Tulungagung
melakukan kegiatan Studi Banding ke Kelompok
PPHR (Paguyuban Pengelolaan Hutan Rakyat) Ngudi Lestari dan KSU Wana Manunggal
Lestari di Desa Dengok, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul, salah satu
koperasi yang telah mendapatkan sertifikat Ecolabelling dari LEI maupun
sertitifikat VLK.
Tulisan ini berusaha mengupas
sedikit tentang catatan perjalanan studi banding beserta seluk beluk SVLK dan
kondisi yang dihadapi KSU
Wana Manunggal Lestari setelah mendapatkan sertifikat VLK.
Berangkat dari BKPP
kabupaten Tulungagung pukul 23.00 WIB rombongan tiba di Badan Pelaksana
Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Kabupaten Gunung Kidul sekitar pukul 07.00 WIB keesokan
harinya. Setelah mandi dan sarapan serta
beramah tamah dengan para pejabat dan staf BPPKP Kabupaten Gunung Kidul,
rombongan langsung meluncur ke Desa Dengok, dan diterima dengan sangat baik
setibanya di lokasi.
Sambutan Dilanjutkan Pemaparan Tentang SVLK
Acara dilanjutkan dengan perkenalan,
sambutan-sambutan dan paparan tentang ke Kelompok PPHR (Paguyuban Pengelolaan
Hutan Rakyat) Ngudi Lestari dan KSU Wana Manunggal Lestari oleh Sugeng Suyono,
Ketua KSU Wana Manunggal Lestari diteruskan dengan tanya jawab dan diskusi. Dari paparan
Ketua KSU Wana Manunggal Lestari itulah diperoleh gambaran perjalanan KSU Wana
Manunggal Lestari sejak berdiri hingga kondisi terkini.
Para PKL Kabupaten Tulungagung Sedang Menyimak Pemaparan
Koperasi Serba Usaha
Wana Manunggal Lestari (KSU-KWML) Gunung Kidul berdiri tahun 2006 sebagai unit manajemen hutan rakyat di
Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta sesuai dengan surat dari Kementerian
Koperasi dan Usaha Kecil Menengah No. 518.026/BH/IX/2006.
Dengan jumlah anggota terdiri dari 686 anggota aktif dan 972 anggota yang berasal dari Desa Dengok, Desa Kedungkeris, dan Desa
Girisekar, KWML Gunung Kidul telah mendapatkan sertifikat Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) Standar LEI 5000–3 No.Reg
82411106003 berlaku selama periode tahun 2006 – 2021 untuk cakupan wilayah
dengan luas area 815,18 Ha yang
berlokasi di Desa Dengok, Desa
Girisekar, dan Desa Kedungkeris.
Selanjutnya berdasarkan hasil penilaian PT. Sucofindo, KSU KWML Gunung
Kidul lulus dan berhak mendapatkan Sertifikat Legalitas Kayu No.VLK 00043 tahun 2011. Sertifikat itu
berlaku untuk hutan rakyat dengan luas areal 594,15 Ha yang berlokasi di Desa
Kedungkeris, Desa Girisekar, dan Desa Dengok.
Namun kondisi terkini yang dialami KSU KWML meskipun sudah
memiliki sertifikat legalitas kayu, KSU KWML masih mengalami kesulitan untuk
memasarkan kayu produksi anggotanya yang telah bersertifikat dengan harga yang
lebih baik. Bahkan untuk menjual dengan
harga Rp 50.000,-/m3 lebih tinggi dari harga pasaran kayu tidak bersertifikat
pun, KSU KWML masih mengalami kesulitan.
Hal tersebut membuat Sugeng Suyono bertanya-tanya mengapa sertifikasi
dengan biaya mahal (sekitar Rp
80.000.000,- untuk 594,15 Ha dengan masa berlaku sertifikat VLK hanya 3 tahun)
tidak mampu mendongkrak harga kayu bersertifikat milik anggota KSU KWML, dan
mengapa tidak ada dukungan kebijakan untuk pemasaran kayu bersertifikat dari
pemerintah khususnya Kementerian Kehutanan sebagai tindak lanjut sertikasi yang
telah dilakukan.
Apa itu SVLK ?
SVLK
atau Sistem Verifikasi Legalitas Kayu
merupakan upaya Pemerintah RI untuk memberantas
praktek illegal logging
dan mempromosikan
kayu legal Indonesia kepada dunia.
Singkatnya melalui proses pembahasan multi-pihak sejak tahun 2003,
pada bulan Juni 2009 Pemerintah Indonesia menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 38/Menhut-II/2009 tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja
Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang
Izin atau pada Hutan Hak. Peraturan yang kemudian lebih dikenal sebagai
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK)
tersebut kemudian mulai berlaku sejak September
2009. Pada akhir 2011, peraturan dimaksud disempurnakan kembali dengan terbitnya Peraturan Menteri Kehutanan P.68/Menhut-II/2011.
Mengapa Perlu SVLK ?
Indonesia berusaha memberikan jaminan legalitas produk
perkayuannya sejalan dengan kecenderungan pasar perkayuan utama dunia yang
sudah mulai menuntut pemenuhan aspek legalitasnya.
Pemerintah Jepang telah
menerapkan Goho-wood atau Green Konjuho yang mewajibkan kayu yang diimpor berasal dari
sumber-sumber yang legal. Pemerintah Amerika Serikat melakukan amandemen
terhadap Lacey Act yang dimaksudkan untuk
menghindarkan importasi kayu-kayu ilegal ke negeri tersebut. Uni
Eropa dengan regulasi no 995/2010
(Timber Regulation) mewajibkan
agar operator memiliki bukti yang meyakinkan bahwa produk perkayuan yang mereka
perdagangkan cukup bukan berasal dari sumber yang ilegal.
Timber Regulation akan mulai efektif
berlaku sejak Maret 2013. Mulai saat
itu impor kayu ke negara-negara anggota Uni Eropa yang berasal dari
negara-negara yang ditengarai terjadi illegal logging akan dilakukan due
diligence (proses kepatuhan) untuk menghindari masuknya kayu-kayu illegal ke pasar Uni
Eropa. Due diligence dan Timber Regulation tidak berlaku
manakala suatu negara eksportir kayu seperti Indonesia menandatangani Voluntary
Partnership Agreement (VPA) dengan Uni Eropa.
Voluntary Partnership Agreements (VPA)
atau Kesepakatan Kemitraan Sukarela adalah perjanjian bilateral antara
Uni Eropa (UE) dan negara-negara pengekspor kayu, dengan tujuan untuk
meningkatkan tata kelola sektor kehutanan serta memastikan bahwa kayu dan
produk kayu yang diimpor ke Uni Eropa diproduksi sesuai dengan peraturan
perundangan negara mitra.
Berdasarkan VPA, negara-negara mitra Uni Eropa harus mengembangkan
sistem-sistem pengendalian untuk memverifikasi legalitas kayu yang diekspor ke
Uni Eropa. Uni Eropa menyediakan
dukungan untuk membangun atau menyempurnakan sistem-sistem pengendalian ini.
Apabila telah disepakati dan diimplementasikan, maka VPA mengikat kedua belah
pihak untuk memperdagangkan hanya produk kayu legal yang telah diverifikasi.
Tanggapan Uni Eropa untuk menangani pembalakan liar dinyatakan
dalam Rencana Tindak Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Sektor
Kehutanan (FLEGT) pada tahun 2003. Rencana Tindak tersebut bukan saja terdiri
atas VPA dengan negara mitra, tetapi juga mencakup Peraturan.
Sejak empat tahun, Indonesia dan Uni Eropa telah melakukan
perundingan mengenai VPA. Tiga kali pertemuan tingkat Pejabat Tinggi (SOM), tujuh kali pertemuan teknis (Technical Working Group) dan tujuh kali
pembahasan pada tingkat ahli telah dilaksanakan. Melalui pertemuan Senior Official Meeting ke tiga
(terakhir) di Brusel pada 15 April 2011 di
Kantor Komisi Eropa di Brussels dicapai kesepakatan atas dokumen-dokumen VPA
beserta ke 9 annexnya dengan SVLK sebagai sistem yang akan diterapkan untuk
membuktikan legalitas kayu-kayu Indonesia.
Pada 4 Mei 2011 dilakukan pemarafan (initialing) Perjanjian FLEGT-VPA oleh Menteri Kehutanan RI,
Zulkifli Hasan dan Karel De Gutch, EU
Trade Commisioner di Jakarta. Dengan demikian Indonesia menyusul
negara-negara Afrika (Ghana, Kamerun, Kongo) yang telah terlebih dahulu
menandatangani VPA dengan Uni Eropa. Indonesia merupakan negara Asia pertama
yang mempunyai VPA, karena perundingan Malaysia dan Vietnam dengan Uni Eropa
belum memperlihatkan kemajuan yang berarti.
Apa Keuntungan
Menggunakan SVLK ?
1. Bisnis hutan berbasis masyarakat dapat
memperoleh pengakuan pasar internasional terhadap pengelolaan hutan yang
dilakukan oleh masyarakat. Bagi petani keuntungan
langsung yang diharapkan adala meningkatnya harga jual kayu yang telah
bersertifikat VLK
2. Pembeli dapat melacak kayu
mereka beli hingga ke hutan yang dipanen secara legal dengan membeli produk
hutan SVLK, dapat berkontribusi untuk menjaga dan melestarikan hutan
3. Industri dan pedagang dapat meningkatkan
penetrasi pasar internasional ke pasar sensitif seperti Eropa dan Amerika
Serikat. Apalagi dengan telah
ditandatanganinya VPA, kayu dari Indonesia tidak harus melalui proses kepatuhan
(due dilligent assesment) yang
memakan waktu dan biaya.
Pelaksanaan SVLK
Peraturan Menteri Kehutanan No. P.38/Menhut-II/2009 jo. P.68/Menhut-II/2011
mengharuskan unit usaha kehutanan
memegang sertifikat pengelolaan
hutan produksi lestari (PHPL), atau setidak-tidaknya sertifikat legalitas.
Sedangkan unit industri
yang berbahan baku kayu, baik indutri kayu primer maupun industri lanjutan,
harus mendapatkan sertifikat legalitas.
Penilaian PHPL/legalitas dilaksanakan secara independen oleh
lembaga penilai/verifikator yang telah diakreditasi oleh Komite Akreditasi
Nasional (KAN), dan diawasi pelaksanaannya oleh pengawas independen yang
berasal dari LSM / masyarakat madani.
Sampai akhir 2011 telah dilakukan penilaian kinerja Pengelolaan
Hutan Produksi Lestari (PHPL) pada unit kelola/ pemegang ijin pada berbagai
tipe pengelolaan hutan dengan total areal seluas kurang lebih 5,5 juta
ha.
Verifikasi legalitas unit kelola hutan rakyat telah diberikan kepada 5 (lima) unit
pengelolaan hutan rakyat dengan luas kurang lebih 2000 Ha tersebar di
Lampung Tengah (Koperasi Comlog Giri Mukti Wana Tirta), Gunungkidul, DIY
(Koperasi Wana Manunggal Lestari ), Wonosobo, Jawa Tengah (Asosiasi Pemilik
Hutan Rakyat), Blora, Jawa Tengah (Gapoktanhut Jati Mustika) dan Konawe
Selatan, Sulawesi Tenggara (Koperasi Hutan Jaya Lestari).
Diah Raharjo, Direktur
Multistakeholder Forestry Programme (MFP-Kehati) menjelaskan “Untuk tujuan
ekspor, industri yang telah mengantongi sertifikat SVLK akan melampirkan
Dokumen V-Legal yang menyatakan bahwa produk kayu tersebut telah memenuhi
standar verifikasi legalitas kayu sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan menjamin bahwa kayu dan produk kayu tersebut berasal
dari sumber bahan baku yang legal”.
, Dokumen V-Legal juga diterbitkan oleh Lembaga Verifikasi yang
telah terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN). Eksportir
produk industri kehutanan mengajukan permohonan penerbitan Dokumen
V-Legal kepada Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK) yang setelah melalui
proses verifikasi atau inspeksi akan menerbitkan dokumen V-Legal bagi eksportir
tersebut. Dokumen V-Legal berisi informasi mengenai jenis dan volume
produk kayu yang akan diekspor, negara tujuan serta informasi lainnya.
Dengan fasilitasi MFP-KEHATI, Kementerian Kehutanan sudah
mengembangkan sistem online pengelolaan informasi terkait penerbitan Dokumen
V-Legal. Sistem online ini merupakan kerja para pihak yang melibatkan enam kementerian (Kementerian Kehutanan, Kementrian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementrian Keuangan, Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian) dan dijalankan oleh Unit Pengelolaan Informasi Verifikasi Legalitas Kayu atau Lincense Information Unit (LIU) yang berpusat di
Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan Kementerian Kehutanan. Sistem ini menggantikan
mekanisme endorsement ekspor kayu dan produk kayu oleh Badan
Revitalisasi Industri Kehutanan (BRIK).
Sistem Informasi Verifikasi Legalitas Kayu ini juga langsung
terhubung dengan sistem INATRADE di Direktorat Jenderal Perdagangan Luar
Negeri, Kemendag dan akan bermuara pada portal Indonesian National Single Window (INSW) di Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan untuk
pendaftaran ekspor. Sistem ini juga memungkinkan pihak kepabeanan negara tujuan
ekspor untuk memperoleh kepastian atau klarifikasi atas legalitas kayu dari
Indonesia.
Data dari Kementerian Kehutanan RI per Agustus 2012 dari sekitar 4.000
industri kayu primer dan puluhan ribu industri kerajinan kayu baru 202 unit
manajemen industri pengolahan kayu primer yang sudah memperoleh Sertifikat VLK
dan 89 unit lainnya masih dalam proses, meski Kementerian Kehutanan sudah
menganggarkan bantuan sebesar Rp 3 miliar dan tenaga pendamping untuk membiayai
proses verifikasi bagi usaha kehutanan skala rakyat. Meski demikian pemberlakuan SVLK bagi semua
produk industri kehutanan akan diberlakukan mulai Januari
2013.
Kritik Terhadap
Pelaksanaan SVLK
Kritik utama yang muncul terhadap
pelaksanaan SVLK adalah tingginya biaya assesment
, prosedur assesment yang panjang, tiadanya jaminan harga premium untuk kayu
bersertifikat VLK dan masa berlaku sertifikat VLK yang singkat hanya 3 tahun,
sementara di dalam negeri segmen pasar yang tidak hirau akan sertifikasi masih
cukup dominan. (Silakan buka http://groups.yahoo.com/group/rimbawan-interaktif/).
Pelajaran yang Dapat Diambil
dari Studi Banding ke Gunung Kidul
Dari studi banding yang telah
dilakukan ke KSU KWML Gunung Kidul ada beberapa hal yang dapat diambil sebagai
pelajaran yaitu :
1. Adanya Kelompok PPHR sebagai gabungan
dari Kelompok Tani Penghijauan - Kelompok Tani Penghijauan yang ada untuk
mempermudah pengelolaan hutan rakyat dengan dasar sukarela dan tanggungjawab
untuk kepentingan bersama dimana dalam proses pendataan kayu yang ada di lahan
milik anggota KSU KWML sangat mempermudah
2. Proses pendataan kayu yang ada di
lahan milik dilakukan sendiri oleh pemilik lahan berdasarkan kesadaran akan
pentingnya SVLK dan harapan akan naiknya harga kayu bersertifikat VLK,
sedangkan KSU KWML menyediakan blangko untuk pendataan
3. Masa berlaku sertifikat VLK yang hanya
3 tahun memang sebaiknya dirubah untuk minimal 15 tahun mengingat biaya assesment
yang tinggi dan secara teknis tanaman kayu-kayuan membutuhkan waktu setidaknya 6
tahun untuk mencapai ukuran siap tebang (bervariasi menurut jenis dan kesuburan
tanah) bahkan untuk tanaman jati unggul memerlukan waktu setidaknya 15 tahun
untuk mencapai ukuran layak tebang
4. Perlunya penetapan standar harga kayu
bersertifikat untuk pasar dalam negeri oleh pemerintah dan dukungan kebijakan
untuk pemasaran kayu bersertifikat VLK, misalnya kewajiban gedung instansi
pemerintah maupun perusahaan BUMN dan swasta skala besar wajib menggunakan kayu
bersertifikat VLK.
5. Diperlukan penegakan hukum yang tegas
terhadap para pelaku ilegal loging untuk menjaga kredibilitas pemerintahan RI di mata dunia internasional terutama dalam kaitan dengan telah diparafnya FLEGT-VPA
6. SVLK sebuah keharusan, semakin cepat
kayu hutan rakyat memiliki sertifikat VLK semakin baik untuk mendukung ekspor
produk perkayuan tetapi perlu dukungan kebijakan pemerintah agar perusahaan
eksportir mau membeli kayu rakyat bersertifikat VLK
*****
Penyusun : Wido Nugroho, SP
PKL Kecamatan Pagerwojo, Kabupaten Tulungagung
Editor : Rasidi, SP
Sumber data : -Sugeng Suyono Ketua KSU KWML Gunung Kidul
-www.mfp.or.id
-www.greenradio.fm
-nationalgeographic.co.id
-www.antaranews.com
-http://groups.yahoo.com/group/rimbawan-interaktif/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar